Kamis, 14 Januari 2010

BADAN USAHA (1)


ASAS-ASAS HUKUM BADAN USAHA BUKAN BADAN HUKUM*)


Oleh :

Dr. H. Martin Roestamy, SH., MH.


Makalah Disusun Guna Melengkapi Penyusunan Naskah Akademik

Rancangan Undang-undang Tentang Badan Usaha Bukan Badan Hukum

pada Badan Pembinaan Hukum Nasional RI.


A. LATAR BELAKANG

Pembentukan hukum tidak dapat dilepaskan dari sumber hukum tidak tertulis seperti landasan idiil, teori hukum dan filsafat hukum yang merupakan pokok-pokok fikiran dari lahirnya suatu ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pokok-pokok fikiran tersebut dapat berada pada bagian konsiderans maupun pada bagian pasal-pasal dalam setiap undang-undang. Menurut teori hukum, pokok-pokok fikiran tersebut berhubungan dengan asas-asas hukum yang melahirkan politik hukum, kenapa suatu ketentuan peraturan perundangan-undangan lahir. Aapakah memang sudah sesuai dengan aspek hukum kebiasaan, kesusilaan, bahkan norma-norma kehidupan beragama dan norma sosial masyarakat.

Banyak pembentukan hukum yang dilahirkan, baik oleh lembaga legislatif dalam bentuk undang-undang, maupun oleh pemerintah berbentuk peraturan pemerintah dan peringkat di bawahnya tidak memiliki usia yang panjang, ini disebabkan adanya hak masyarakat mengajukan uji materil dari setiap peraturan perundangan-undangan. Khususnya terhadap kaedah-kaedah yang diatur apakah telah sesuai dengan kenyataan dalam masyarakat seperti asas-asas hukum yang hidup dan berlaku serta dijunjung tinggi oleh masyarakat. Tidak heran jika satu pasal dari suatu undang-undang belum sempat diluncurkan sudah harus masuk ke Mahkamah Konstitusi sebagai obyek perkara konstitusi. Misalnya Undang-undang Nomor : 44 Tahun 2008 tentang : Pornografi, belum sempat dijalankan sudah mendapat sanggahan dan bantahan dari berbagai elemen masyarakat. Tidak heran jika undang-undang tersebut justru menimbulkan persoalan hukum dalam masyarakat. Lihatlah masyarakat Bali dengan Gubernur Propinsi Bali (I Made Mangku Pastika) mengancam akan melakukan pembangkangan sosial jika undang-undang pornografi tersebut diberlakukan. Apakah memang benar kontroversi tersebut disebabkan adanya pertentangan hukum antara kebutuhan nasional dengan kebutuhan lokal, seberapa besar pengaruh kearifan lokal jika dihadapkan dengan rumusan pasal-pasal dalam undang-undang tersebut.

Contoh lain adalah Undang-undang Nomor : 9 Tahun 2009 tentang : Badan Hukum Pendidikan (BHP). Pemerintah sebagai pemrakarsa pembentukan UU BHP mendapat serangan justru dari mahasiswa dan kalangan pengelola pendidikan seperti yayasan atau lembaga pengelola pendidikan seperti organisasi sosial lainnya. Maksud pembentukan UU BHP untuk menata ulang pengelolaan kegiatan kependidikan di segala tingkatan agar mencerdaskan bangsa sebagai salah satu tujuan pembentukan negara Republik Indonesia lebih cepat terwujud, apalagai dengan amanat UUD 1945 (hasil amandemen) tentang kewaiban menyiapkan anggaran yaitu sebesar 20 % (duapuluh persen) dari APBN. Kenyataan yang terjadi adalah begitu UU BHP disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), di sana sini timbul protes, baik berbentuk demonstrasi maupun pernyataan publik bahkan protes itu berujung kepada uji materil UU BHP di Mahkamah Konstitusi.

Kedua contoh tersebut diatas adalah kenyataan yang ironi, dengan pembahasan RUU masing-masing, baik pornografi maupun badan hukum pendidikan yang demikian memakan waktu dan biaya yang tidak kecil, justru niat pembentuk undang-undang ingin menata kedua substansi hukum dari kedua undang-undang tersebut, pertanyaannya adalah, kenapa kedua undang-undang tersebut bermuara ke Mahkamah Konstitusi ? Sebuah pertanyaan yang harus diteliti lebih dalam oleh para pemikir hukum, pembuat undang-undang, kalangan legislatif dan eksekutif, sebagai pihak yang diberikan kewenangan oleh konstitusi negara yaitu UUD 1945.

Mochtar Kusumaatmadja,[1] menyebutkan bahwa ada dua hal yang perlu diperhatian dalam pembangunan hukum, yaitu persoalan hukum sebagai alat perubahan (pembangunan) serta pembinaan atau perkembangan hukum itu sendiri. Mengenai hal yang pertama menurut beliau bahwa masalah-masalah yang dihadapi sehubungan upaya mengembangkan hukum sebagai suatu alat pembaharuan (a tool of social engineering). Dari sini lahir pemikirannya yang ingin memberikan peran bagi hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan, maksudnya dengan pendekatan teori dan/atau filasafat hukum pengembangan faham Sosiological Jurisprudence yang dikemukakan oleh Roscoe Pound di Amerika Serikat (yang dikenal di negara asalnya dengan semboyan Law as a tool of social engineering) menjadi salah satu tonggak pembaharuan dan pembangunan hukum di Indonesia dengan memasukkan konsep-konsep pembangunan hukum pada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pemikiran ini menjadi berkembang di berbagai universitas, khususnya Universitas Padjajaran, kemudian mempengaruhi kegiatan kenegaraan, lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif serta yudikatif. Kemudian dalam kenyataannya tidak begitu gampang melakukan perubahan paradigma dalam pembangunan hukum itu.

Kesukaran-kesukaran yang dihadapi dalam memperkembangankan hukum[2] sebagai suatu alat pembaharuan masyarakat dapat digolongklan dalam tiga sebab kesulitan yaitu :

1. Sukarnya menentukan tujuan dari perkembangan hukum;

2. Sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan suatu analisis deskriptif dan predikitif.

3. Sukarnya mengadakan ukuran yang objektif untuk mengukur berhasil/tidaknya usaha pembaharuan hukum.

Menurut A. Hamid Attamimi,[3] Pembentukan hukum terutama yang berbentuk peraturan perundang-undangan bukanlah sekedar teknik menyusun secara sistematik bahan-bahan yang terkumpul dalam rumusan normatif. Pembentuk hukum yang baik, harus memiliki berbagai syarat pembentukan hukum yang baik pula, seperti asas tujuan, asas kewenangan, asas keperluan mengadakan peraturan, asas bahwa peraturan tersebut dapat dilaksanakan.

B. ASAS HUKUM DALAM HUKUM PERUSAHAAN

1. Tinjauan Tentang Asas-asas hukum.

Pembentukan hukum, baik berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan peraturan perundangan-undangan lainnya meliputi ke-empat unsur hukum yaitu asas, kaedah, lembaga dan proses. Menurut Mochtar; ”Hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya.[4] Hukum bukanlah terbatas pada kaedah yang tertera dalam peraturan perundang-undangan saja, akan tetapi di dalamnya juga mengandung asas-asas hukum yang berlaku dan diterima dalam masyarakat yang merupakan hasil proses hukum tersebut yang merupakan hukum yang hidup (the living law) di tengah masyarakat.[5]

Menurut teori Stuffen (Stuffenth theory), Pancasila sebagai perjanjian luhur Bangsa Indonesia, dalam pembentukan sistem hukum sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)[6] telah ditempatkan dalam posisi teratas sebagai sumber dari segala sumber hukum, sejalan dengan nafas pembentukan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang : Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam pembentukan hukum positif maknanya harus sejalan dan dijiwai dengan kandungan maksud dalam sila-sila Pancasila dan ruh yang terdapat dalam UUD 1945, baik pembukaan maupun pasal-pasal. Konsep pembentukan hukum dengan memperhatikan asas-asas hukum Pancasila sebagai bentuk ketaatan terhadap asas bagi perumusan dan peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum. Ketaatan kepada asas memiliki sifat absolut bagi pembentukan undang-undang, karena asas adalah bagian dari hukum yang hidup (living law) yang dapat menghidupkan guna mendukung daya kerja (workablity) suatu peraturan perundang-undangan. Pembentukan hukum dengan mengabaikan asas-asas hukum berdampak kepada sikap masyarakat yang anomali terhadap hukum.

Secara umum, istilah “asas” dalam Bahasa Inggris sepadan dengan istilah “principle”. Dalam Black’s Law Dictionary, principle ditafsirkan sebagai :

a fundamental truth or doctrine, as law; a comprehensive rule or doctrine which furnishes or origin for others; a settled rule of action, procedure or legal determination. A truth or proposition so clear so it cannot be proved or contradicted unless as a proposition which still clearer. That which constitute the essence of a body or its constituent parts”.[7]

Dari pendapat di atas, asas memiliki beberapa pengertian, yaitu :

a. A fundamental truth or doctrine, as law; (sebuah doktrin atau kebenaran mendasar yang diterima sebagai hukum);

b. A comprehensive rule or doctrine which furnishes or origin for others; (sebuah aturan atau doktrin yang menyeluruh yang menjadi sumber bagi aturan atau doktrin lainnya);

c. A settled rule of action, procedure or legal determination (sebuah aturan bertindak yang telah mapan berupa prosedur atau ketentuan-ketentuan hukum yang sangat menentukan/menjadi acuan).

Masih dari pendapat di atas, kebenaran atau proposisi dalam asas begitu jelas sehingga tidak dapat (perlu) dibuktikan atau dipertentangkan kecuali sebagai sebuah proposisi yang masih belum jelas. Asas hukumlah yang mendasari esensi dari sebuah lembaga atau bagian-bagiannya.

Sudikno Mertokusumo (berdasarkan pendapat Bellefroid, van Eikema Hommes, The Liang Gie dan P. Scholten), menyimpulkan bahwa :

“Asas hukum atau prinsip hukum adalah bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut”.[8]

Senada dengan pendapat di atas, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa asas hukum merupakan ”jantungnya” peraturan hukum dan memiliki posisi sebagai ratio legis, yang akan memberikan bantuan dalam memahami peraturan-peraturan hukum.[9]

Dengan demikian, asas hukum bukanlah peraturan yang bersifat nyata melainkan berupa sebuah pondasi pikiran atas kebenaran, doktrin atau proposisi yang mendasari lahirnya kaidah hukum yang terjelma dalam hukum positif. Begitu pula dalam sistem hukum perusahaan, sistem hukum yang dibangun tidak terlepas dari asas-asas hukum yang mendasarinya sebagai ratio legis dari sistem tersebut.

2. Beberapa Asas Hukum Dalam Praktik Hukum Perusahaan.

Hukum Perusahaan adalah hukum yang mengatur tentang tata kerja perusahaan, dari mulai pendirian, cara mendirikan dan pelaksanaan suatu badan usaha. Dalam pratik hukum perusahaan, badan usaha dapat dikenal dengan badan usaha berbentuk badan hukum dan tidak berbentuk badan hukum atau dalam tulisan ini disebut badan usaha bukan badan hukum

(BUBBH). Dalam tulisan tesendiri dalam rangka pembahasan naskah akademik yang sama dengan tulisan ini telah ditulis mengenai badan usaha badan hukum, seperti perseroan terbatas (PT), koperasi, perseroan (persero) BUMN, perusahaan umum (perum) dan lainnya dan oleh karena itu dalam tulisan ini tidak dibahas lagi, akan tetapi asas-asas hukum yang dipakai dan menjadi dasar pembentukan, tata kerja dan tanggung jawab perusahaan tersebut (khususnya perseroan terbatas) akan dijelaskan dibawah nanti. Pentingnya asas bagi tata hukum perusahaan untuk memberikan penguatan terhadap pembentukan hukum badan usaha.

Apabila dikaji secara komprehensif, dalam sistem hukum perusahaan Indonesia terdapat asas-asas hukum yang dijadikan dasar pembentukan hukum perusahaan yang berlaku. Asas-asas tersebut seperti akan dijelaskan di bawah ini.

a. Asas-asas Hukum Perjanjian.

Asas ini dapat ditemukan dalam pengertian Perseroan Terbatas sebagai salah satu bentuk badan usaha yang berbadan hukum, dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa : “Perseroan terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian....dst”. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa P.T. sebagai badan usaha didirikan atas dasar perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih. Dengan adanya perjanjian para pihak yang dituangkan dalam akta notaris dalam bentuk anggaran dasar perseroan terbatas maka berlakulah asas-asas hukum perjanjian dalam pendirian, pelaksanaan perseroan tersebut. Asas-asas umum hukum perjanjian tersebut antara lain ;

(1) Asas Konsensualisme;

(2) Asas Kebebasan Berkontrak;

(3) Asas Facta sunt servanda;

(4) Asas Keseimbangan;

(5) Asas Itikad Baik (good faith);

(6) Asas Kepatutan;

(7) Asas Kebiasaan;

(8) Asas Moral;

b. Asas Tanggung Jawab Sosial & Lingkungan (Corporate Social Responsibility/CSR).

Asas tanggung jawab sosial ini merupakan asas yang mengharuskan setiap pelaku usaha (perusahaan) guna ikut mewujudkan upaya pembangunan ekonomi berkelenjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi pelaku usaha (perusahaan), komunitas setempat dimana pelaku usaha (perusahaan) menjalankan usahanya, maupun bagi masyarakat pada umumnya. Hal ini sangat penting demi terjalinnya hubungan pelaku usaha (perusahaan) yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat.

Asas ini sudah diterapkan di Indonesia dengan dinyatakan secara tegas dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pada pasal 74 disebutkan : “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alamwajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan”.

c. Asas Corporate Separate Legal Personality.

Asas ini dikenal dalam Perseroan Terbatas, yang esensinya bahwa suatu perusahaan, dalam hal ini PT, mempunyai personalitas atau kepribadian yang berbeda dari orang yang menciptakannya. Doktrin dasar PT adalah bahwa perseroan merupakan kesatuan hukum yang terpisah dari subjek hukum pribadi yang menjadi pendiri atau pemegang saham dari perseroan tersebut. Ada suatu tabir (veil) pemisah antara perseroan sebagai suatu legal entity dengan para pemegang saham dari perseroan tersebut.

Asas ini secara konkrit dapat ditemukan pada Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menentukan Pemegang Saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugia Perseroan melebihi saham yang dimilikinya.

d. Asas Piercing the Corporate Veil

Berkaitan dengan asas Corporate Separate Legal Personality tersebut di atas yang membatasi tanggung jawab pemegang saham, dalam hal-ha tertentu pembatasan tersebut dapat diterobos dengan syarat dan keadaan tertentu. Sehingga tanggung jawab pemegang saham tidak lagi terbatas pada nilai pemilikan sahamnya. Penerobosan keterbatasan tanggung jawab pemegang saham Perseroan Terbatas tersebut dikenal dengan asas Piercing the Corporate Veil.

Dalam UU PT Tahun 2007 hal ini diatur pada Pasal 3 ayat (2), dimana dalam ayat tersebut diketahui untuk dapat terjadinya Piercing the Corporate Veil harus memenuhi syarat sebagai berikut :

(1) persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;

(2) pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi;

(3) pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau

(4) pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.

e. Asas Fiduciary Duty.

Esensi dari asas ini bahwa Direksi sebagai salah satu organ dalam Perseroan Terbatas yang yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sebagaimana halnya tanggung jawab terbatas pemegang saham PT, keterbatasan tanggung jawab itu juga berlaku terhadap anggota direksi meskipun tidak secara tegas dinyatakan dalam pasal-pasal UUPT.

Hal tersebut dapat diketahui dari Pasal 97 ayat (3) UUPT Tahun 2007 yang mengatur bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Dari ketentuan itu secara acontrario dapat diartikan bahwa apabila anggota direksi tidak bersalah dan tidak lalai menjalankan tugasnya, maka berarti direksi tidak bertanggung jawab penuh secara pribadi.

f. Asas Fiduciary Skill & Care.

Asas ini menekankan bahwa seorang direksi suatu perseroan haruslah seseorang yang memiliki keahlian dan kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum dan harus memiliki tanggung jawab sebagai ”bapak rumah yang baik” dalam mengelolan perseroan.

g. Asas Domisili.

Asas domisili adalah asas yang menngharuskan suatu badan usaha mempunyai tempat kedudukan yang biasanya disebutkan dalam akta pendirian tempat kedudukan (domisili) ini berfungsi sekaligus sebagai kantor pusat suatu badan usaha. Domisili atau tempat kedudukan badan usaha ini untuk mempermudah suatu badan usaha dalam mengadakan hubungan hukum dengan pihak lain.

h. Asas Kekeluargaan.

Asas kekeluargaan ini merupakan suatu asas yang dinyatakan secara konstitusional dalam UUD 1945 pada Pasal 33 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Dimaksudkan bahwa dalam melakukan pengurusan perusahaan, direksi, pemegang saham dan komisaris serta karyawan yang bekerja dalam perusahaan dituntut untuk membangun sistem kekeluargaan sebagai bangsa Indonesia dengan menghormati dan menjunjung tinggi keberagaman.

Asas kekluargaan dimaksud tidak diartikan sebagai semangat nepotistik yang bersifat kekerabatan (family system)

C. BEBERAPA ASAS HUKUM BAGI PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG BADAN USAHA BUKAN BADAN HUKUM (UU-BUBBH).

1. Badan Usaha Bukan Badan Hukum.

Dalam praktik, badan usaha selalu juga disebut dengan perusahaan, badan usaha maksudnya bentuk organ dari suatu yang dikenal dengan perusahaan, dapat berbentuk badan hukum atau juga bukan badan hukum. Menurut Undang-udang Nomor : 3 Tahun 1993, tentang : Wajib Daftar Perusahaan (UU-WDP) pada Pasal 1 butir (b) disebutkan perusahaan adalah : “setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap, terus-menerus, dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba”. Pada butir (c) disebutkan bahwa pengusaha adalah : “setiap orang perorang atau persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu jenis perusahaan. Pada butir (d), disebutkan usaha adalah : “setiap tindakan, perbuatan atau kegiatan apapun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba”.

Dari pengertian tersebut di atas dapat diambil tolak ukur bahwa badan usaha dalam berbentuk perorangan, persekutuan atau badan hukum. Badan usaha yang bukan badan hukum dapat diartikan dapat berbentuk perorangan atau persekutuan.

Di bawah ini akan dijelaskan tentang praktik kegiatan usaha yang dilakukan oleh masyarakat yang menggunakan badan usaha bukan badan hukum (BU-BBH). Penjelasan bersifat pendekatan tata cara pendirian dan tanggung jawab saja, mengingat kaitannya dengan penerapan asas-asas hukum yang akan dipakai bagi pembentukan UU-BUBBH. Secara khsus tentang bentuk, tata cara pendirian tentang BUBBH telah ditulis pada bagian tersendiri pula. Dalam praktik beberapa badan usaha bukan badan hukum yang sudah dikenal dalam masyarakat dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Persekutuan Firma (Fa).

Firma adalah tiap-tiap perserikatan yang didirikan oleh dua orang atau lebih dalam bentuk perserikatan yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan di bawah satu nama dengan kewajiban para pesero tanggung-menanggung (renteng). Diatur dalam Pasal 16 s/d Pasal 35 KUHDagang. Dalam Pasal 23 KUHDagang disebutkan kewajiban mendaftarkan firma pada Pengadilan Negeri, akan tetapi beradasrkan UU-WDP Pasal 14 dietapkan oleh Menteri yang membidangi perdagangan (dalam hal ini Kantor Pendaftaran Perusahaan di tempat domisili firma).

b. Comanditer Venootschaap (CV) atau Persekutuan Komanditer.

Persekutuan Komanditer dikenal dalam masyarakat dengan singkatan CV, dalam praktik dua pesero atau lebih, yang terdiri dari seorang pesero yang melibatkan dirinya secara penuh dan/atau secara tanggung menanggung (karena bertindak sebagai pengurus) dan pesero lainnya yang tidak turut mengurus perseroan oleh karena itu tidk turut menanggung kerugian perseroan kecuali sebatas uang yang dilepaskannya dalam perseroan. Dalam praktik, pesero yang mengurus dikenal dengan pengurus, sedang pesero yang melepaskan uang dikenal dengan pesero komanditer. Ketentuan mengenai perseroan komanditer diatur dalam Pasal 19 s/d Pasal 21 KUHDagang. Ada keunikan dalam perseroan ini, bahwa para pengurus yang mengurus perseroan tunduk kepada ketentuan yang mengatur firma, sedangkan pesero pelepas uang tidak perlu tunduk pada keentuan itu, namun suatu ketika jika dia melakukan pengurusan dalam perseroan, maka secara hukum dia telah menundukkan diri dengan persekutuan firma yang turut dalam tanggung renteng, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat 2 juncto Pasal 21 KUHDagang.. Sehingga dalam praktik tidak jarang dalam akta pendiriannya, pendiri persekutuan komanditer menyebutkan sejak semula pendiriannnya yang tunduk dalam persekutuan di bawah firma khususnya jika dalam penentuan pengurus persekutuan lebih dari seorang.

c. Persekutuan Perdata (maatschap).

Mengenai persekutuan perdata telah diatur dalam Bab Kedelapan KUHPerdata. Berdasarkan Pasal 1618 KUHPerdata yang dimaksud dengan persetujuan adalah perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi keuntungan. Menurut Pasal 1619 ayat (2) disebutkan bahwa masing-masing sekutu diwajibkan memasukkan uang atau barang dalam perseroan, dengan risiko utang bagi sekutu yang tidak memasukkan uang atau barang dimaksud, sebagaimana diatur dalam Pasal 1624 dan 1625 KUHPerdata. Dalam praktik persekutuan penuh dilakukan mengenai segala kegiatan usaha dan keuntungan sekutu, sedangkan persekutuan khusus untuk barang dan kegiatan usaha tertentu saja. Dalam hal bertindak keluar, terdapat perbedaan antara persekutuan perdata dengan dengan persekutuan firma atau CV, tindakan sekutu atas nama persekutuan yang tidak mendapatkan persetujuan dari sekutu lainnya yang mendatangkan keuntungan termasuk hak-hak atas tagihan menjadi hak persekutuan, akan tetapi jikalau mendatangkan kerugian, menjadi utang dan tanggung jawab sekutu yang melakukan tindakan tersebut. Hak dan kewajiban tersebut akan menjadi milik persekutuan jika dalam tindakan keluar sekutu lainnya memberikan persetujuan terlebih dulu, demikian diatur dalam Pasal 1644 dan 1645 KUHPerdata. Dalam persekutuan perdata dapat dilakukan terlebih dahulu tentang besaran pemasukan uang atau barang masing-masing sekutu, termasuk keuntungan dan kerugian sebagai akibat adanya persekutuan. Jika terlebih dulu tidak diperjanjian tentang besaran pembagian keuntungan, maka pembagian keuntungan dilakukan berdasarkan perimbangan pemasukan masing-masing sekutu.

d. BU-BBH Syariah.

(1) Baitul Maal wat Tamwil.

Sejalan dengan berkembangnya kegiatan perekonomian dengan menggunakan Hukum Islam sebagai dasar pelaksanaannya, beberapa kegiatan BU-BBH dalam bidang ekonomi syariah juga turut mewarnai hukum perdata khususnya hukum perusahaan. Bentuk badan usaha yang dijalankan antara lain Baitul Maal wat Tamwil (BMT). BMT adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikan konsep baitul mal wat tamwil, dengan kegiatan pokok mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas dan kegiatan usaha kecil, antara lain; mendorong kegiatan menabung dan penyaluran pembiayaan kegiatan ekonomi. Ada ciri khas dari kegiatan baitul maal yakni menerima titipan BAZIS (Badan Amil Zakat, Infaq dan Sadaqoh) untuk dijalankan sesuai dengan peraturan perundangan dan amanahnya. Maksudnya untuk mendorong pengembangan sektor usaha kecil dan mikro, baik pertumbuhan usaha maupun kualitasnya. Belum jelas pengaturan tentang tanggung jwab, pendiri maupun hak-hak kewajiban para pesertanya. Dari segmen kegaiatan usaha terlihat kecendrungan kepada pengembangan usaha ekonomi kerakyatan dengan menonjolkan kegotong-royongan. Secara hukum BMT lebih dekat kepada kegiatan koperasi, namun belum memiliki payung hukum yang jelas.

(2) TAKMIN.

Takmin adalah kependekatan dari Takaful Mikro Indonesia, yaang didirikan untuk melaksanakan program asuransi mikro syariah berbasais keagenan (partner agency model). Bentuk badan usaha cendrung kepada persekutuan perdata, dengan mengumpukan para agen asuransi Takaful, dengan maksud memberikan perlindungan kepada kaum mustad’afin (korban/tertanggung) dari musibah yang menimpa. Walaupun kegiatan ini sudah berjalan dan dikenal luas dalam masyarakat, namun belum memiliki payung hukum, khsusunya mengenai tata cara pendirian dan pelaksanaan serta tanggung jawab para pendirinya masing-masing.

e. Usaha Dagang.

Usaha Dagang (UD) atau dikenal dalam masyarakat juga dengan Perusahaan Dagang (PD) adalah usaha perorangan, pada umumnya pengusaha yang menjalankan usaha dengan menggunakan UD atau PD adalah pengusaha kecil dan mikro (lebih kecil). Sektor usaha dapat berbentuk perdagangan kecil seperti warung makan, warung sembako, atau industri rumah tangga (home industry) seperti penjahit, industri atau kerajinan sepatu, tas dan lainnya, atau jasa seperti bengkel dan service motor, komputer, penggunting rambut dan sebagainya. Usaha kecil seperti UD dan mikro ini belum diberikan payung hukum untuk pembinaan dan pengembangan serta tanggung jawabnya. Dalam praktik sering diperguanakan ketentuan dalam persesukutuan firma atau persekutuan komanditer bagi pendiriannya, tidak sedikit diantaranya yang tidak memeilki bentuk badan usaha yang resmi.

f. Kegiatan Usaha Lain.

Dengan uapaya pengembangan sektor UKM yang digalakkan oleh pemerintah, di segala sektor seperti perdaganagn, industri, peternakan, perikanan dan pertanian, dalam praktik dikenal Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang dikembangkan oleh Departemen Sosial R.I., Penanaman Modal Nasional Mandiri (PNPM) yang dikembangan oleh Kantor Menko Kesra, Gabungan Kelompok Usaha Pertanian (GAPOKTAN) yang dikembangkan oleh Departemen Pertanian. Kegiatan-kegiatan dalam upaya menumbuhkan dan mengembangkan ekonomi rakayat belakangan semakin gencar dan cendrung lepas kenadali, karena badan usaha yang dibentuk tidak mengacu kepada hukum perdata yang selama ini dijadikan payung pendirian usaha, baik berbadan hukum maupun bukan berbadan hukum. Mengingat kelompok-kelompok tersebut telah memiliki kegiatan usaha yang produktif, tetapi juga mendapatkan pinjaman dan bantuan uang, maka diperlukan pemikiran tentang pembentuk payung masing-masing, apakah dimasukkan ke dalam persekutuan pedata atau model baru, yaitu bentuk badan usaha sejenis koperasi yang bukan berbadan hukum.

2. PENERAPAN ASAS-ASAS HUKUM DALAM PEMBENTUKAN BU-BBH.

a. Asas-asas Hukum Perjanjian.

Asas-asas hukum perjanjian yang disebutkan di atas yang meliputi antara lain : asas konsensualism, asas kebebasasn berkontrak, asas kepastian hukum (facta sunt servanda), asas itikad baik, asas keseimbangan, asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas moral menjadi prinsip yang mendasar dalam pembentukan sustu badan usaha bukan badan hukum mengingat pembentukannya dilakukan oleh dua orang atau lebih. Dalam penyusunan anggaran dasar badan usaha tersebut pembatasan-pembatasan yang telah ditentukan oleh undang-ndang, termasuk oleh kepatutan dan kebiasaan hatus dijadikan pegangan dalam menyususn syarat dan isi perjanjian yang diwujudkan dalam anggaran dasar badan usaha. Dikecualika dalam hal ini adalah badan usaha mikro yang selama ini berbentuk Usaha Dagang (UD) atau Perusahaan Dagang (PD) yang dibentuk oleh satu orang saja, maka tanggung jawab melekat pada setiap aktifitas badan usaha, baik untung maupun rugi tanpa melibatkan pihak lain, sehingga terhadap bentuk badan usaha dagang berlaku asas-asas dalam hukum keluarga dan hukum perkawinan.

b. Asas Kepribadian.

Perlu diperhatikan bahwa badan usaha bukan badan hukum adalah bukan subjek hukum, artinya semua tindakan para sekutu atau pengurus atau para pihak yang mengatasnamakan badan usaha menjadai tanggung jawab pribadi para pelaku dan sekutu lainnya, baik secara orang-perorang maupun secara tanggung-renteng.

Sejalan dengan Pasal 1313 KUHPerdata, bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang akan mengikatkan diri orang itu kepada pihak lain, termasuk perbuatan hukum yang menimbulkan hutang, berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata, seala kebendaan yang dimiliki oleh pihak yang berutang adalah menjadi tangungan untuk segala perikatan yang dibuatnya.

Asas kepribadian menunjukkan adanya keterkaitan langsung antara harta yang dimiliki serta tanggung jawab penuh para sekutu dalam persekutuan perdata, Firma dan Persekutuan Komanditer (kecuali sekutu komanditer yang hanya melepas uangnya saja). Sedangkan untuk usaha-usaha BMT, TAKMIN maupun KUBE dalam rangka pengembangan UKM, asas kepribadian dapat dipakai dalam bentuk tanggung renteng bagi pengurus dan terbatas bagi peserta.

c. Asas Tanggung Jawab Sosial & Lingkungan (Corporate Social Responsibility / CSR).

Sebagaimana yang diatur dalam UU No. 40/2007 tentang PT, pembentukan badan usaha bukan badan hukum juga tidak dapat terlepas dari dari keharusan guna menerapkan asas CSR tersebut. Dalam UU PT tersebut ditentukan bahwa setiap perseroan yang melakukan usaha di bidang dan atau terkait dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang memperhatikan kepatutan dan kewajaran dalam pelaksanaannya.

Dengan demikian, badan usaha bukan badan hukum sudah seharusnya melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut, mengingat hal ini sangat penting dalam pembangunan ekonomi berkelenjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi pelaku usaha (perusahaan), komunitas setempat dimana pelaku usaha (perusahaan) menjalankan usahanya, maupun bagi masyarakat pada umumnya. Hal ini penting demi terjalinnya hubungan pelaku usaha (perusahaan) yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat.

d. Asas Keseimbangan.

Asas keseimbangan memberikan hak dan kedudukan yang sama bagi para pihak di depan hukum. Dalam asas hukum yang berlaku umum (generale principle of law), sesuai dengan asasinya, maka dituntut adanya persamaan hak dan kedudukan orang-perorang di depan hukum (equality before the law).

Salah satu unsur keseimbangan dapat dilihat dari Pasal 1320 ayat (1) jo. Pasal 1321 KUHPerdata yang menjamin unsur kesepakatan yang bebas dari kehilafan, paksaan dan penipuan dengan ancaman kebatalan. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1323 s.d Pasal 1326 KUHPerdata, mengingat adanya tanggung jawab yang seimbang secara renteng serta tanggung jawab yang terbagi sesuai dengan tenaga, dan uang yang dilepaskan dalam persekutuan. Dalam persekutuan perdata, tanggung jawab dan hak-hak para sekutu diatur secara seimbang berdasarkan kesepakatan pada saat pembentukan persekutuan. Pendirian BMT, TAKMIN, KUBE dan sebagainya dengan berlandaskan pada asas keseimbangan hak dan kewajiban para peserta ditentukan secara bersama.

Dalam Pancasila, pada Sila ke-2, Kemanusiaan yang adil dan beradab, perlindungan hak-hak perorangan diatur secara tegas bersama dengan itu pula dalam Sila ke-5 diatur tentang asas-asas keadilan, untuk memberikan kedudukan yang seimbang bagi masyarakat tanpa membedakan suku, agaa, ras dan antar golongan.

e. Asas Gotong Royong dan Asas Kekeluargaan

Asas gotong royong dan asas kekeluargaan diambil dari butir-butir Sila ke-3 Pancasila :”Persatuan Inonesia”, makna yang terkandung tersebut merupakan cikal bakal pembentukan kerjasama yang dijabarkan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang di dalamnya mengandung asas kekeluargaan, dalam melaksanakan usaha bersama, baik dalam bentuk koperasi guna mendapatkan manfaat bersama seperti usaha yang lain : KUBE, TAKMIN, GAPOKTAN, BMTserta kegiatan-kegiata pengumpulan dana di pedesaan yang mirip dengan kegiatan koperasi tetapi tidak berbentuk badan hukum seperti koperasi.

Kehidupan badan usaha sejenis kumpulan masyarakat seperti digambarkan di atas, berbasis gotong royong, kebersamaan, kekeluargaan, ukhuwah, atau broterhood. Pada masyarakat pedesaan, model-model kerja sama seperti di atas dapat diwujudkan dalam pemeliiharaan tali air, penggarapan sawah, peternakan dan perikanan, pemasaran hasil pertanian, simpan pinjam, dan home industry.

Dalam pembentukan badan usaha bukan badan hukum dengan mengunakan model-model seperti di atas asas gotong royong dan asas kekeluargaan tidak dapat dilepaskan dan merupakan ruh badan usaha bersama tersebut.

f. Asas Fiduciary Duty.

Asas ini dikenal dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang memberikan kedudukan dan tanggung jawab seimbang Direksi perseroan sebagai pengurus dan pengelola perusahaan. Asas ini diambil dari hukum adat. Dimana Direksi selaku kepala keluarga bertanggung jawab sepenuhnya atas kelangsungan hidup keluarga sebagai bapak rumah yang baik. Ini juga berlaku kepada pengurus badan usaha buan badan hukum.

g. Asas Fiduciary Skill & Care.

Sebagai bentuk dari tanggung jawab hukum pengurus dan pengelola perusahaan kepada pihak ketiga, dituntut juga keahlian dan kepedulian serta kehati-hatian sekutu, pengurus dalam menjalankan tugas dan jabatannya. Walaupun asas ini berlaku bagi perseroan terbatas, banyak juga positifnya jika asas ini juga dianut dalam Undang-undang Badan Usaha Bukan Badan Hukum (UU-BUBBH). Hal itu dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada pihak ketiga sekaligus kontrol terhadap perilaku menyimpang yang merugikan yang dilakukan oleh pengurus dan/atau sekutu dalam persekutuan.

h. Asas Publisitas.

Sejalan dengan tuntutan yang diatur oleh Undang-undang Wajib Daftar Perusahaan, dalam rangka tertib administrasi, maka setiap pendirian badan usaha bukan badan hukum diwajibkan dalam bentuk akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris selaku pejabat umum yang ditetapkan oleh undang-undang.

Pendaftaran dilakukan di tempat domisili badan usaha bukan badan hukum, dimaksudkan agar Pemerintah mudah melakukan pembinaan dan pengawasan. Di samping itu, asas publisitas dapat juga memberikan akses publik untuk mengetahui keberadaan badan usaha tersebut. Asas publisitas hendaknya disinergikan dengan asas domisili, guna mendukung kepatuhan terhadap kewajiban pendiri sekutu, maupun anggota dimana badan usaha bukan badan hukum itu berada.

D. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Kesimpulan

a. Pembangunan hukum badan usaha adalah salah satu penjabaran dari peranan hukum dalam penyusunan ulang sistem hukum perusahaan yang selama ini menggunakan KUHPerdata, KUHDagang, dan peraturan perundang-undangan lain sebagai dasar pendirian dan pelaksanaannya.

b. Untuk memantapkan pembangunan hukum perusahaan, khususnya badan usaha bukan badan hukum tidak da[at dilepaskan dari asas-asas hukum yang merupakan prinsip-prinsip mendasar dari bangunan hukum perusahaan yang akan dibangun, hal ini sejalan dengan stuffenth theory dimana pembangunan hukum harus taat asas agar bangun hukum yang dibentuk dapat berdiri kokoh dan kuat, bermanfaat bagi pengembangan ekonomi rakyat pada umunya.

c. Badan usaha bukan badan hukum adalah badan usaha kerakyatan yang melibatkan elemen-elemen masyrakat ekonomi menengah kebawah, yang dibangun di atas asas-asas hukum yang bersumber dari hukum perusahaan dan Pancasila serta kebiasaan-kebiasaan dan kepatutan yang telah diterima dan berlangsung dalam masyarakat, seperti asas hukum erjanjian, asas kesimbangan, asas gotong royong, asas kekeluargaan, asas kepribadian, asas tanggung jawab sosial dan lingkungan, asas tanggung jawab dalam perusahaan, asas publisitas dan domisili.

2. Rekomendasi

a. Dalam pembentukan Undang-undang Badan Usaha Bukan Badan Hukum, harus disadari bahwa maksud pembuatan Undang-undang ini adalah untuk meningkatkan ekonomi kerakyatan, oleh karena itu setiap pasal yang dibentuk hendaknya berorientasi kepada peningkatan ekonomi kerakyatan;

b. Untuk memperkuat ekonomi kerakyatan, bangun hukum yang akan dibentuk harus berlandasakan pada Pancasila, Kebiasaan dan asas perjanjian yang sudah dikenal dan diterima baik oleh masyarakat, hal ini menghindari faham yang pragmatis dalam pembentukan undang-undang, karena berdampak kepada kebebasan rakyat guna melakukan uji materiil. Oleh karena itu, pembentukan undang-undang harus memperhatikan asas yang terkandng dalam Pancasila, kebiasaan, kepatutan, dan keberagaman dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, “Konsistensi Pembangunan Nasional Dan Penegakan Hukum, Majalah Hukum Varia Peradilan”, Tahun XXIII Nomor 275 , IKAHI, Jkt, Oktober 2008.

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing. Co, St. Paul Minn, sixth edition, 1990.

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, penerbit, Alumni, Bandung, 2002.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, cetakan ke IV, 1996.

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata : Burgerlijk Wetboek dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan Keduapuluhtiga, 1995.

__________, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undang-undang Kepailitan, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan Keuapuluh tujuh, 2002.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, cetakan ketiga, 2002.

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, Cetakan Kesembilan belas, 2002.



§) Oleh : Dr. Martin Roestamy, SH, MH, disampaikan pada Rapat Penyusunan Naskah Akademik, bagi pembentukan Rancangan Undang-undang Badan Usaha Bukan Badan Hukum, pada Badan Pembinaan Hukum Nasional ( BPHN ), Departemen Hukum dan Ham R.I, pada tanggal 25 September 2009, di BPHN Jakarta.

[1] Mochtar Kusumaatmadja, Konsepkonsep Hukum Dalam Pembangunan, Penerbit Alumni, Bandung, 2002, baca hlmn. 21 s/d 25, juga hlmn 3 dan 4.

[2] Ibid.

[3] Dalam Bagir Manan, Konsistensi Pembangunan Nasional Dan Penegakan Hukum, Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XXIII Nomor 275 , IKAHI, Jkt, Oktober 2008, hlm 7 s/d 13.

[4] Mochtar, Op.Ci.t, hlm. 79

[5] Baca, Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan hlm 80 s/d 91.

[6] Pembentukan hukum dalam RPJMN dimaksudkan untuk membangunan substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum guna dapat memberikan dukungan bagi tercapainya kesejahteraan masyarakat.

[7] Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing. Co, St. Paul Minn, sixth edition, 1990, hlm. 1193.

[8] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, cetakan ketiga, 2002, hlm. 34.

[9] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum , Citra Aditya Bakti, Bandung, cetakan ke IV, 1996, , hlm. 45-47.

Fidusia (1)


ASPEK HUKUM PEMBEBANAN DAN PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA
(TINJAUAN PRAKTIS
)

Makalah Pembanding Disampaikan Pada :
SEMINAR SOSIALISASI UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999
TENTANG JAMINAN FIDUSIA

Diselenggarakan oleh :
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN KUMDANG RI
BEKERJASAMA DENGAN BANK MANDIRI


I. PENDAHULUAN

Dengan Lembaran Negara no. 168 tahun 1999 tanggal 30 September 1999, telah diundangkan undang-undang no. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Sejak saat itu secara yuridis formal lembaga jaminan fidusia yang dikenal selama ini dalam masyarakat, dan diterima dunia perbankan dan peradilan dengan sebutan “fiduciaire eigendomsoverdracht” atau “FEO” (pengalihan hak milik secara kepercayaan), telah resmi masuk dalam jajaran hukum positif di Indonesia, dengan sebutan UU Fidusia (pasal 40). UU Fidusia juga telah memberikan amanat kepada Pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Pedaftaran Fidusia (Pasal13 ayat 4), bahwa dalam jangka waktu paling lambat satu tahun setelah tanggal Lembaran Negara tersebut diatas, “Kantor Pedaftaran Fidusia” (KPF) telah dibentuk, dengan tugas menerima dan melakukan pedaftaran, termasuk menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia, sehubungan dengan pembebanan jaminan fidusia atas benda seperti yang dimaksud dalam undang-undang ini, untuk perbuatan hukum yang dilakukan sesudah maupun sebelum “KPF” dibentuk.

Sesuai dengan judul topik bahasan yaitu “Aspek Hukum Pembebanan dan Pendaftaran Jaminan Fidusia” (yang lebih banyak penulis tinjau dari sudut praktis), menunjukkan perbuatan hukum “Pembebanan Jaminan” yang diikuti dengan “Pedaftaran” hendak dilakukan dalam satu paket, karena lahimya hak kebendaan atas jaminan fidusia yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah pada saat pembebanan atas jaminan didaftarkan di KPF, maka dapatlah diartikan seolah-olah undang-undang ini ingin mengatakan “Tiada Pembebanan Tanpa Pendaftaran”. Berlainan dengan cara yang dilakukan dalam FEO, soal pedaftaran bukan merupakan suatu kewajiban yang senafas dengan pembebanan, akta penyerahan jaminan secara FEO telah diterima oleh masyarakat maupun peradilan sebagai suatu bentuk hukum bam yang sangat populer, yang dapat membantu aktifitas perdagangan dan perbankan, sebagai terobosan dari lembaga gadai yang kaku.

Menurut Prof Dr. Sri Soedewi Maschum Sofwan, SH, salah satu pendorong pesatnya perkembangan Lembaga Fidusia ini adalah disebabkan keterbatasan pada lembaga Gadai (Pand) seperti yang diatur dalam Pasal 1152 ayat 2 KUH Perdata, yang mengatur persyaratan gadai dimana benda yang digadaikan oleh pemberi gadai harus dipegang oleh pemegang gadai, hal mana mengandung banyak kekurangan dan tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat. Terlebih lagi jika benda-benda yang menjadi tanggungan tersebut merupakan alat-alat penting untuk mata pencaharian sehari-hari seperti bis bagi perusahaan angkutan, alat-alat rumah makan dan sebagainya, dimana yang berutang disamping memerlukan kredit tapi masih tetap membutuhkan untuk tetap memakai benda-benda tersebut.*[1]).

Dengan telah berlakunya UU Fidusia, maka dunia hukum perdata Indonesia memasuki babak baru yang lebih maju, karena secara “substantif” dari kerangka sistem hukum yaitu :

§ Substasi hukum;

§ Perangkat hukum; dan

§ Budaya hukum;

Lembaga FEO yang lebih dahulu membudaya dalam masyarakat melalui kebiasaan-kebiasaan yang diterima baik (konvensi), baru sekarang ini di lembagakan dalam struktur hukum positif Indonesia dan saat ini mamasuki tahap sosialisasi.

Sampai sejauh manakah dan bagaimana upaya mengatur dan menata-laksana persiapan dan pelaksanaannya, serta bagaimana mengatur perangkat hukum yang

diperlukan bagi terlaksananya undang-undang dan maksud pembentukan undang-undang ini, merupakan kajian yang menarik dengan mana penulis akan membahas dari sisi duma praktisi dimana penulis berada saat dan sebelum undang-undang ini terbentuk. Dengan maksud melengkapi apa yang telah disajikan oleh penyaji makalah terdahulu dengan judul yang sama dan memandangnya dari sisinya pula.

2. KARAKTERISTIK JAMINAN FIDUSIA

Cara untuk mendekatkan pandangan tentang Jaminan Fidusia khususnya mengenai Pembebanan dan Pendaftaran Jaminan Fidusia, dapat dicermati dari beberapa hal yang diatur dalam UU Fidusia yang merupakan hal baru, disamping beberapa hal yang selama ini telah dikenal dan dilaksanakan dalam praktek penyerahan jaminan secara FEO yang antara lain dapat diuraikan sebagai berikut :

§ Sifat asesor (accessoir) yang oleh undang-undang disebut sebagai perjanjian ikutan dari satu perjanjian pokok (pasal 4), guna pelunasan utang debitor kepada kreditor (pasal 7). Sebelum utang dalarn perjanjian pokok lunas (termasuk akibat-akibat-nya) hak agunan yang timbul akibat penyerahan jaminan fidusia tidak dapat dihapuskan, termasuk jika piutang dialihkan kepada kreditor lain.

§ Formalitas hukum dari pembebanan benda jaminan dibuat dalam bentuk Notariil Aida dalam bahasa Indonesia yang merupakan Akta Jaminan Fidusia (Pasal 5 ayat 1). Bentuk pembebanan secara notariil akta dimaksudkan agar Akta Jaminan Fidusia dibuat dihadapan pejabat yang berwenang yang oleh undang-undang telah ditunjuk untuk itu, guna mendapatkan nilai “otentisitas” dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat sebagai alat bukti yang kuat bagi para pihak maupun kepada pihak ketiga termasuk ahli waris maupun orang yang meneruskan hak tersebut (pasal 1868, 1869 dan 1870). Dengan dasar itu pula dibuat “titel eksekutorial” pada Sertipikat Fidusia. Sebelum UU Fidusia, dalarn FEO para pihak dapa tmemilih formalitas penyerahan jaminan baik secara notariil maupun dibawah tangan, ada beberapa “multi finance corporation” digunakan diluar bahasa Indonesia dan dibawah tangan dengan sewa beli.

§ Pendaftaran Fidusia, (yang merupakan hal baru dari yang telah diamanatkan oleh undang-undang dengan tatacara dan permasalahan tersendiri), yang selanjutnya akan dibahas dalam bab berikut. Saat pendaftaran adalah saat lahirnya Jaminan dan memberikan kepada Penerima Fidusia Hak Kebendaan (zakelijke zekerheid ) atau Hak Agunan yang memiliki hak mendahului (preferensi), oleh karena itu hukutnnya wajib mendaftarkan jaminan fidusia kepada KPF (Pasal 11 ayat 1, 12 ayat 1, 13 ayat 1). Hak Agunan, timbul sebagai bentuk perwujudan dari hak atas kebendaan (real right) yang diperoleh penerima fidusia akibat penyerahan kepemilikan dari jaminan fidusia (sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 butir 1). Hak Agunan, mengandung Sifat Absolut dan mengikuti benda tersebut ditangan siapapun ia berada (droit de suit), yang haknya tidak hapus karena adanya kepailitan atau likuidasi (Pasal 27 ayat 3) maupun, dialihkannya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia (pasal 20), pemikian pula terhadap keuntungan (pasal l0-a, 21 ayat 4) dan klaim asuransi yang timbul (pasal l0-b, 25 ayat 2). Penyerahan hak kepemilikan bukan penyerahan hak milik, berlainan dengan yang banyak dipraktekkan selama ini dalam FEO, terutama untuk jaminan kendaraan bermotor penyerahan jaminan secara FEO ditafsirkan banyak kreditor sebagai “milik”, sehingga banyak kreditor menggunakan sita tarik (revindicatoir beslag) atas barang “miliknya” sendiri guna mengambil jalan keluar bagi penyelesaian utang/kredit (bermasalah). Pengalihan hak kebendaan yang dimaksud oleh UU Fidusia dilakukan dengan cara constitutum possessorium dimana benda yang diserahkan hak kepemilikannnya tersebut secara fisik masih tetap dikuasai oleh pemberi fidusia untuk kepentingan penerima fidusia. Penyerahan dengan cara demikian berbeda dengan penyerahan yang dimaksud dalam pasal 584 jo. 612 ayat 1 KUH Perdata (levering) yang bersifat mutlak dan terus menerus, penyerahan hak kepemilikan menurut UU Fidusia semata-mata untuk keperluan agunan bagi pelunasan utang (pasal 1 butir 2 jo pasal 27), yang menurut penulis sebagai sesuatu yang menimbulkan Hak Agunan sebagai perwujudan jaminan kebendaan (security right in rem) yang mempunyai Hak Mendahului (preferen).

§ Unsur Pidana, diancamkan kepada para pihak yang beritikad buruk yang bermaksud..dengan sengaja, memasukkan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan membuat penyerahan jaminan Fidusia menjadi batal / tidak lahir (Pasal 35) termasuk juga terhadap mereka yang mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan benda yang menjadi obyek Fidusia kecuali benda persediaan (Pasal 23 ayat 2 dan Pasal 36).

3. ASPEK HUKUM PEMBEBANAN JAMINAN FIDUSIA.

a. Tentang benda Obyek Jaminan Fidusia.

Yang dimaksud dengan Benda dalam UU Fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan ataupun hipotik (pasal 1 butir 4). Benda seperti yang dimaksud diatas selanjutnya dapat disebut juga dengan objek jaminan fidusia. Disamping Benda yang disebutkan objek fidusia juga meliputi (kecuali diperjanjikan lain) hasil dari Benda misalnya piutang hasil penjualan barang, klaim asuransi, dalam hal Benda yang menjadi objek jaminan fidusia diasuransikan (Pasal 10), dengan begitu termasuk dalam objek jaminan fidusia adalah barang tak berwujud (pasal 1 butir 2). Dengan ketentuan tersebut maka dapat diketahui bahwa objek jaminan fidusia cukup variable, dan rumit terutama dalam menentukan kriteria serta status dan kewenangan atau alas hak benda tersebut.

Menjadi perhatian bagi kalangan praktisi bisnis maupun praktisi hukum untuk menentukan kriteria .dan karakteristik dokumentasi atau alas hak dari objek jaminan fidusia. Tanpa alas hak yang jelas dan kuat, mustahil penyerahan jaminan fidusia dapat dilaksanakan. Contoh soal, jaminan kendaraan mobil bekas dimana menjadi kebiasaan dalam masyarakat yang tidak melakukan balik nama atas Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), bagaimana nasib penyerahan jaminan yang dilakukan seperti yang terjadi selama ini, dengan menyerahkan BPKB plus kwitansi kosong. Demikian pula terhadap barang-barang persediaan, baik terhadap barang yang merupakan bahan baku, barang yang sedang diproses maupun barang jadi (finished good) maupun barang dagangan atau juga dikenal dengan “inventory”, alas hak yang ditemui dalam praktek selama ini hanya dengan dasar “daftar persediaan” yang dibuat oleh pemberi fidusia, beberapa bank menggunakan lembaga “surveyor” untuk meneliti keabsahan baik kualitas maupun kuantitas barang, namun banyak juga daftar tersebut cukup dibuat dibawah tangan kemudian di “counter-sign” oleh penerima fidusia, demikian pula terhadap barang-barang inventaris, mesin-mesin yang tidak melekat terutama untuk “home industry” dan industri kecil cukup dengan dasar “invoice” barang.

Tentang Benda ini bisa dimungkinkan adanya mutasi baik karena penjualan barang persediaan atau efek maupun perubahan bentuknya dari barang menjadi piutang (Pasal 20, 21 jo Pasal 31), khusus mengenai barang persediaan keseimbangan antara arus masuk barang dengan arus keluar atau dengan besaran piutang harus dijaga dan dilaporkan ini merupakan kewajiban pemberi fidusia.

Kemudian mengenai “bangunan”, seperti yang diuraikan diatas termasuk objek fidusia adalah bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan seperti yang dimaksud dalam UU no. 4/1996 tentang hak tanggungan, atau hipotek (untuk kapal). Agar tidak berbenturan dengan UU hak tanggungan maupun KUH Perdata yang mengatur tentang hipotik, diperlukan pembicaraan bersama antara birokrasi, para ahli dan praktisi guna menentukan kriteria-kriteria dan tata cara pelaksanaannya. Bangunan yang dibangunan diatas tanah hak pakai negara (UU no. 16/1985 tentang Rumah Susun) dan bangunan yang dibangun diatas tanah milik orang lain (Pasal 15 UU no. 4/1992 tentang Perumahan dan Pemukiman).

b. Tentang Status dan Wewenang.

Berdasarkan uraian pada sub a, untuk mendukung lembaga pengalihan hak kepemilikan seperti yang dimaksud oleh undang-undang ini, maka yang akan menyerahkan. hak kepemilikan dalam jaminan fidusia adalah semata-mata pihak yang memiliki status dan wewenang dimata hukum, orang hendaklah cakap dan oleh karena itu memiliki kewenangan baik langsung maupun tidak langsung terhadap benda yang menjadi objek fidusia. Setiap perjanjian yang dilakukan oleh orang atau badan hukum harus didukung dengan kecakapan bertindak bagi para pihak yang melaksanakan.perjanjian (pasal 1320 ayat 2).

c. Tentang Perjanjian Pokok.

Sesuai dengan karakteristiknya jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok per-utangan, yang sifatnya sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu. Berarti tiada fidusia tanpa utang, sehingga tidak tepat jika dikatakan penyerahan jaminan fidusia adalah perjanjian yang berdiri sendiri. Dalam Perjanjian Pokok selalu ditunjuk adanya jaminan utang dalam bentuk (diantaranya) fidusia oleh akta penyerahan secara FEO (selama ini), sebaliknya akta penyerahan secara FEO dapat pula menundukkan diri terhadap perjanjian pokok sepanjang berguna bagi pelunasan utang debitur.

Dalam UU Fidusia yang dimaksud utang adalah : “Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang lainnya, baik secara langsung maupun “kontijen” (Pasal 1 ayat 7)”.

Selanjutnya utang yang pelunasannya dijamin dengan fidusia dapat berupa :

§ Utang yang telah ada;

§ Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu; atau

§ Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi (Pasal 7).

Yang dimaksud dengan utang yang timbul dikemudian hari yang dikenal dengan istilah “kontijen” misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditor untuk kepentingan debitor dalam rangka pelaksanaan garansi bank. Utang yang dimaksud dalam perjanjian pokok tersebut termasuk bunga atas pinjaman pokok, serta biaya-biaya lainnya juga denda yang akan diperhituhgkan sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian pokok dijamin oleh Fidusia.

Perjanjian pokok disamping berbentuk perjanjian kredit atau berbentuk uang dapat pula berbentuk barang contohnya perjanjian keagenan antara prinsipal dengan agen (distributor atau penyalur) baik barang-barang konsumtif maupun barang-barang produktif, misalnya obat anti nyamuk, minuman, sabun, semen besi baja, mobil, sepeda motor dan sebagainya.

Dalam perjanjian pokok untuk jaminan kredit sindikasi pemberian jaminan fidusia dapat juga diberikan kepada lebih dari satu kreditor / penerima fidusia (Pasal 8).

d. Proses Pembebanan Fidusia.

Merupakan kegiatan terpenting dalam pembebanan jaminan fidusia adalah dilakukannya penandatanganan akta jaminan fidusia. Sesuai dengan UU Fidusia pembuatan akta jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia.

Alasan mengapa UU Fidusia menetapkan bentuk khusus (akta notaris) bagi perjanjian jaminan fidusia adalah bahwa sebagaimana diatur dalam pasal 1870 KUH Perdata, akta notaris karena merupakan akta otentik memiliki kekuatan pembuktian sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya di antara para pihak beserta para ahli warisnya atau para pengganti haknya. Mengingat bahwa objek jaminan fidusia pada umumnya adalah barang bergerak yang tidak terdaftar, maka sudah sewajarnya bahwa bentuk akta otentiklah yang dianggap paling dapat menjamin kepastian hukum berkenaan dengan objek jaminan fidusia.*[2]).

Beberapa hal pokok yang hams dimuat dalam akta jaminan fidusia adalah sebagai berikut :

§ ldentitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia;

§ Data peIjanjian pokok yang dijamin fidusia;

§ Uraian mengenai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia;

§ Nilai penjaminan; dan

§ Nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. (pasal6).

Dalam akta jaminan fidusia selain dicantumkan hari dan tanggal, juga dicantumkan mengenai waktu (jam) pembuatan akta, yang berguna buat mengantisipasi adanya fidusia ulang atau fidusia paralel. Walaupun sebenarnya dilarang melakukan pembuatan fidusia ulang atau fidusia paralel seperti yang diuraikan dalam bab 2 diatas. Dimaksudkan dengan pencantuman jam tersebut jika terdapat dan ternyata penerima fidusia lebih dari pada satu maka dalam hal pedaftaran dilakukan bersamaan jamnya maka akta yang lebih dahulu mendapat prioritas terlebih dahulu. Ketentuan ini penulis bersifat “mendua” seolah-olah mernberikan kemungkinan atas sesuatu yang sebenarnya dilarang. Juga dicantumkan tentang jenis kelamin, status perkawinan dan pekerjaan.

Yang dimaksud dengan identitas tersebut diatas adalah meliputi nama lengkap, agama, tempat tinggal, atau tempat kedudukan, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin.

Mengenai data petjanjian pokok dicanturnkan mengenai macam perjanjian dan utang yang dijarninkan dengan fidusia.

Sedangkan mengenai benda yang dijadikan objek jaminan fidusia dilakukan dengan mengidentifikasikan benda dan bukti kepemilikan, termasuk surat-surat bukti atau alas haknya, untuk barang-barang inventory (persediaan) yang selalu berubah seperti stock barang, portofolio perusahaan efek, maka dalam akta jarninan fidusia dicanturnkan mengenai jenis, merek, kualitas dari benda tersebut. Dalam akta jaminan fidusia dapat dicantumkan kuasa yang diberikan oleh pemberi fidusia kepada penerima fidusia untuk melaksanakan pendaftaran terhadap jarninan fidusia, berbeda dengan FEO yang telah lahir sejak ditandatanganinya akta dihadapan notaris sedangkan jaminan fidusia lahir pada saat pendaftaran diterima di KPF.

4. ASPEK HUKUM PENDAFTARAN FIDUSIA.

a. Essensi Pendaftaran.

Pendaftaran bagi UU Fidusia adalah momentum yang sangat tinggi nilainya dari lembaga jaminan fidusia, karena lahirnya Hak Agunan seperti yang disebutkan diatas adalah pada saat pendaftaran diterima di KPF. Benda yang dibebani fidusia wajib didaftarkan (Pasal 11 ayat 1) di KPF (Pasal 12 ayat 1), klausula yang mengatur tentang pendaftaran menugaskan kepada penerima fidusia atau wakilnya yang berkewajiban rnelakukan kegiatan pendaftaran (Pasal 13 ayat 1) dengan melampirkan pernyataan pendaftaran dengan mengisi data sebagaimana yang diatur dalarn pasal 13 ayat 2. KPF menyediakan Buku Daftar Fidusia (BDF). Untuk pertama kali KPF didirikan di Jakarta dengan wilayah cakupan seluruh Indonesia.

(Pasal 12 ayat 2), KPF dibawah Departemen Hukum dan Perundang-undangan dahulu Departemen Kehakiman (Pasal 12 ayat 3) sedang pembentukan KPF di daerah akan dibentuk dengan Keppres (pasal 12 ayat 4), KPF rnenerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia yang diterbitkan pada tanggal yang sarna dengan tanggal diterimanya permohonan, yang merupakan salinan dari BDF, tanggal pendaftaran pada BDF sarna dengan tanggal diterima pendaftaran pada KPF (Pasal 14). Dalam Sertipikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang memberikan kekuatan Eksekutorial Sertipikat tersebut. ( Pasal 15 ). KPF tidak melakukan penelitian tentang kebenaran, tapi hanya melakukan pengecekan terhadap penyataan pendaftaran.

b. Akibat Pendaftaran.

Lembaga Pendaftaran merupakan lembaga baru dibanding dengan FEO, dengan adanya lembaga ini telah tercapai pemenuhan asas publisitas dan spesialitas sebagai salah satu sarat hak jaminan kebendaan. Demikian pula lahirnya Hak Agunan atau Hak Kepemilikan atas jaminan Fidusia adalah pada saat penyerahan permohonan pendaftaran pada KPF. Pendaftaran Benda yang wajib dilakukan oleh Penerima Fidusia, didaftarkan di tempat kedudukan Pemberi Fidusia, mencakup benda baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.

UU Fidusia bercita-cita dengan lembaga Pendaftaran diharapkan akan terjamin kepastian hukum, dicegah fidusia ulang atau fiqusia paralel, yang sering terjadi dalam FEO, karena fidusia ulang untuk barang yang sama sedangkan fidusia paralel untuk barang yang tak terpisahkan sering tidak dengan sepengetahuan Penerima Fidusia.

c. Masalah Pendaftaran

Kendala pendaftaran terletak pada luasnya wilayah Indonesia dan asas hukum benda bergerak itu sendiri yang sulit diketahui siapa pemiliknya, mengingat pasal 1977 KUH Perdata mengatur bahwa : “Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga, maupun piutang, maka siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya” (mobilia personam squntur - bezit geldt als volkomen titel).

Berlainan jika Akta Jaminan Fidusia yang diberi titel “eksekutorial” seperti yang berlaku dalam FEO, dimana Akta penyerahan jaminan diberi titel seperti yang dimaksud dalam pasal 15 ayat 1, kemungkinan kedua kendala tersebut dapat diatasi, apalagi dalam Akta Jaminan Fidusia telah dimuat juga tentang tanggal dan jam akta di tandatangani oleh pihak-pihak..

d. Mutasi Pendaftaran.

Dimungkinkan dan UU Fidusia dilakukan “mutasi” jaminan Fidusia, khsusnya untuk benda persediaan (pasal 21 ayat 1) dengan konsekwensi mengganti benda yang setara dengan telah mengalami mutasi atau benda Fidusia berubah dari “persediaan” menjadi “piutang” setiap perubahan mengenai hal yang tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia wajib didaftarkan pada dan dicatat pada hari itu juga oleh KPF dan dengan menerbitkan pernyataan perubahan yang merupakan bagian yang tak terpisah dari Sertifikat Jaminan Fidusia (pasal 16) . Disamping itu dalam hal mutasi pada Penerima Fidusia, maka Jaminan Fidusia ikut (droit de suit) demikian juga jika terjadi penggantian kreditor disebabkan subrogasi atau cessie (pasal19) hal mana harus didaftarkan pada KPF.

Untuk mutasi benda Fidusia, sebagai perbandingan dalam UU Hak Tanggungan dapat diketahui setiap mutasi tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan, karena seluruh mutasi dan buku tanah ada pada satu atap yaitu Kantor Pertanahan, beda dengan Kantor Pendaftaran Fidusia yang tidak memiliki kekuasaan dan wewenang dalam mengontrol mutasi (peralihan dan pembebanan) benda yang menjadi objek Fidusia. Kecuali untuk kendaraan bermotor yang mutasinya ada pada instansi Kepolisian (untuk pajak kendaraan maupun pengalihan) dan efek pada Bursa Efek, dapat dikatakan bahwa benda-benda yang merupakan objek fidusia berada dalam kontrol, Penerima dan Pemberi Fidusia sepenuhnya.

5. KESIMPULAN & SARAN.

a. Dengan telah diundangkannya UU Fidusia, salah satu elemen hukum perdata yang selama ini hidup dan berkembang dalam masyarakat, telah beralih status menjadi hukum positif, yang bermaksud memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat yang selama ini memanfaatkannya.

b. Aspek Hukum Pembebanan Fidusia mewujudkan Hak Agunan yang merupakan simbol penyerahan Hak Kepemilikan dalam Fidusia, yang berbeda dengan Penyerahan Hak Milik (levering) yang diatur dalam Pasal 584 jo 612 ayat 1 KUH Perdata. Penerima Fidusia tidak memiliki hak mutlak, akan tetapi hak kepemilikan dengan hak menyerahkannya kembali kepada Pemberi Fidusia untuk keperluan Penerima Fidusia, namun dengan pengalihan hak secara constitutum possessorium telah menjamin hak Penerima Fidusia untuk menggunakan upaya pidana dalam setiap itikad buruk dari Pemberi Fidusia maupun pihak ketiga.

c. Aspek Hukum Pendaftaran melahirkan Hak Mendahului sekaligus memberikan titel eksekutorial bagi kepentingan Penerima Fidusia, dilain pihak dengan pengaturan pendaftaran untuk benda-benda tertentu yang tidak terdaftar jika ditinjau lebih mendalam dapat menimbulkan peluang kekaburan hukum jika dalam pelaksanaannya tidak dilakukan secara teliti dan jelas.

d. Beberapa kendala yang harus diatasi adalah mengenai alas hak dan kontrol atas mutasi benda Fidusia, disamping itu perlu kerjasama yang kuat dengan instansi yang bertugas dan berwenang mengontrol mutasi benda Fidusia yang telah berlaku. Luasnya wilayah Indonesia juga merupakan kendala yang menghendaki diciptakannya sistem informasi yang cepat dan canggih bagi pendaftaran Fidusia, guna mencegah itikad buruk pihak ketiga yang sekaligus melindungi kepentingan kreditor dan debitor.

Sekian dan terima kasih. –

DAFTAR BACAAN

1. Fred E.G. Tumbuan, Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia, disampaikan di depan Up-Grading & Refreshing Course Ikatan Notaris Indonesia, Jakarta, 26 - 27 November 1999.

2. Freddy Harris, Aspek Hukum Pembebanan dan Pedaftaran Jaminan Fiducia, Makalah yang disajikan pada Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

3. Mariam Darus Badrulzaman, Prof Dr. SH, Aneka Hukum Bisnis, Penerbit Alumni, Bandung, 1994.

4. R. Subekti, Prof SH, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek, Pradnya Paramita.

5. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Dr. SH, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fiducia di Dalam Praktek dan Pelaksanaannya di Indonesia, Diterbitkan oleh Fakultas Hukum UGM, Bulaksumur, Y ogyakarta, 1977.

Undang-Undang RI No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dilengkapi dengan UU RI No. 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Penerbit Cv. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 1999.


*[1]). Disimpulkan dari, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fiducia di dalam Praktek dan Pelaksanaannya di Indonesia, hal 15 dan 16, diterbitkan oleh FH. UGM 1977.

*[2]). Fred. B.G. Tumbuan, Mencermati pokok-pokok UU Fidusia, Jakarta 26-27 November 1999, Hal : 11.